Halaman

Minggu, 29 September 2013

#Miras dijual bebas | Minimart dan supermarket, sama saja.

Minimart ada dimana-mana; belanja dari minimart sudah merupakan hal biasa bagi masyarakat, adults and children alike.

Celakanya, di majoritas Minimart dan Supermarket yang menjual miras dengan bebas, tak ada label [21+] atau apapun yang berbau warning alkohol. Sedih memang; para pembelinya bahkan tak dimintai keterangan identitas maupun KTP atau ID Card yang lain.

Seperti yang diketahui umumnya, miras ialah minuman memabukkan yang telah diharamkan di Islam. Selain itu, miras merupakan salah satu hal besar yang merusak generasi pemuda sekarang.

Siswa-siswi berpesta miras, penggeledahan dan penemuan miras oplosan (yang tentu saja membahayakan kesehatan) di balik siswa dan siswi yang kelak, apabila tak ditolong, akan hancur masa depannya.

Salah satu sebab ini terjadi kurasa karena media publik yang (setelah terpengaruh budaya barat) menggampangkan penggunaan alkohol tak terkendali.

Wine, whisky, Vodka... banyak lagi jenis-jenis anggur/alkohol lainnya yang penggunaannya seperti sudah biasa di film-film dari barat (apalagi yang seperti mempromosikan alcohol dan drug abuse, terkadang film horror yang sangat digemari dan terkenal di kalangan pemuda/pemudi).

Terekspos kepada media-media barat sejak dini tentunya membangun mindset hancur seperti diatas. Penggunaan rokok-pun seperti hal yang biasa, padahal tentunya komposisi rokok yang mematikan merupakan pengetahuan umum.

Penyuluhan-penyuluhan di sekolah harusnya diperbanyak, dan pemerintah juga mengkondisikan agar media-media barat yang majoritas buruk dapat di blokade sehingga tak masuk dan menghancurkan negara ini.

Say no to Miras; it (miras) does, in fact destroy your future.

Sabtu, 28 September 2013

Your Opinion Matters! | Sometimes, teachers needs to hear our voices, too.

Guru mengemukakan opini, siswa mengangguk. Inilah common occurence di sekolah, baik jenjang SD, SMP, SMA, bahkan terkadang hingga kuliah. Apa yang dikatakan sang Guru maupun dosen dicerna mentah-mentah, tanpa di proses benar-salahnya dengan logika ataupun hati.

Guru mengangguk saat siswa memberikan opini; sesuatu yang sangat jarang. Paling tidak, itulah yang kusimpulkan dari observasiku semenjak naik ke bangku SMP.

Setiap siswa, baik yang muda maupun yang tua, memiliki opini yang berbeda-beda. Yang muda mungkin masih mendapat influence dari orang-orang dewasa, sedangkan yang cukup tua dapat membangun opini sendiri--tapi, tak menutup kemungkinan ada pula yang membiarkan mass media menyetir dan meng-influence segala opini mereka terhadap sesuatu.

Semua orang bebas memiliki opini seperti apapun. Di negara demokratis seperti Indonesia ini, seharusnya siapapun boleh berdiskusi dan mengemukakan pendapat.

Tapi, yang kulihat, di beberapa kasus, yaitu guru-guru menutup kemungkinan siswa untuk beropini.

Memberikan contoh real, kebanyakan guru malah tak menganggap apapun yang dikatakan siswa-siswi puberty penting dan worth untuk didengarkan.

"Paling cuma passing mood saja. Nanti juga berubah lagi. Biasalah, anak-anak labil bin ambigu ABG."

Sesungguhnya ini sangat disayangkan. Sebagai siswa, yang mungkin mengalami berbagai macam event, melihat bagaimana kelakuan remaja zaman sekarang, dan bahkan mungkin ter-bully, tentu mereka punya banyak, banyak sekali hal yang ingin mereka sampaikan.

Beberapa mungkin bisa menuangkannya ke kertas atau social media. Bagaimana dengan yang lebih comfortable berbicara ke orang lain? Yang tidak pede dengan tulisannya?

Kurasa disinilah peran guru. Orangtua memang tempat kita dapat menuangkan apapun, tapi bagaimana jika orangtua itulah permasalahan sang siswa?

Ada beribu-ribu siswa yang ingin opini-opini dan cerita-cerita mereka didengarkan.

Teachers, please hear our calls. Not all of us talks about 'galau pacar' everday.