*You're free to interpret this however you wish!
*This was a winning entry (my work) to this competition.
*This was a winning entry (my work) to this competition.
*The site doesn't format it the way I sent them; they probably only copy-pasted it without a second look, so... haha.
Paralysis
Aku suka sekali tanaman.
Mama dan Papa bekerja di tempat perkebunan.
Tiap hari, mereka memperlihatkan padaku jenis-jenis tanaman, dari yang merah,
putih, kuning, bahkan hitam. Semuanya kelihatan bagus dan rapi. Papa sukaaa sekali menceritakan padaku
tentang mereka—terutama bunga mawar yang dinamai Papa si ‘Merah’—dengan sangaaat detail. Kurasa, dari merekalah
aku mendapat ciriku itu—menyukai tanaman.
“Hijau,
hijau, hijau tamanku,” lantunku dalam hati, “Hijau favoritku!”
Hari itu aku mengambil sekantung bibit
milik Mama—aku percaya Mama pasti nggak akan
marah, kok—untuk di tanam di depan rumah. Aku nggak tau itu bibit apa, tapi Mama bilang, nanti kalau sudah mekar
bagus, kok. Jadi-nya ‘kan, nggak apa-apa.
Kemarin Mama membelikanku sekop. Warnanya
biru terang, kata Mama itu warna yang cocok buatku.
Warna biru’kalem’ katanya. Kalem itu
apa, ya? Besok aku tanyakan Mama, deh. Oh, ya. Mama dan Papa dimana ya...?
“Ya
sudah, nyari Mama
sama Papa nanti, deh.”
Di depan rumah, dengan sekopku kukorek
tanah yang masih kosong. Sebagian besar sudah banyak isinya, tapi masih ada
yang kosong. Kubuka kantung bibit Mama. Sulit sekali membukanya, siapa sih yang menutupnya? Akhirnya, kupaksa
terbuka...
...Hasilnya, kantungnya robek dan bibitnya
tumpah semua...
“Wah!” Pekikku saat bibit-bibit Mama
tumpah. Mama pasti akan marah kalau begini... apa yang harus kulakukan...?
O-oh ya! Aku tanam saja semua bibit yang
tumpah... pasti Mama malah senang ada banyak yang tumbuh. Sekarang, siraman Mama mana ya...? Biasanya sih,
Mama taruhnya di belakang rumah.
Coba lihat, deh!
Setelah sampai di
belakang rumah, ternyata Mama memang ngeletakin-nya
disitu!
Sekarang, waktunya menyiram...~
Setelah tugasku selesai, aku langsung masuk
rumah dan cuci tangan. Mama dan Papa, ‘kok,
masih nggak kelihatan ya...? Apa mereka keluar?
“Mama? Papa?” Panggilku dengan keras.
Rumahku kecil, jadi seharusnya Mama dan Papa dengar, tapi ‘kok... nggak ada jawaban, ya...?
“Ma? Pa? Mama ada di mana? Papa di rumah,
‘kan?” ...Coba kalau aku keliling rumah. Pasti ketemu, deh!
Di kamar Mama dan Papa... nggak ada.
Di kamarku... juga nggak ada...
Di dapur? Tadi ‘kan, aku sudah ke dapur!
Terus, terakhir, kalau di ruang keluarga...
nggak ada juga...
“Mama?!” Teriakku, “Papa?! U-uwa—uh... hueh...”
N-nggak boleh nangis! Nanti kalau nangis...
nggak bakal ketemu... kata Mama, kalau nangis nanti malah makin buntu...!
Setelah menggelengkan kepalaku dan membersihkan—er... maksudku mengusap mataku!
Aku nggak nangis, kok—aku memandang sekeliling. Siapa tahu, Mama pergi tanpa ngomong dulu...
Di atas meja, ada kertas mengkilap. Tadi kayaknya nggak ada! Mungkin Papa yang
meninggalkannya.
Mama dan Papa ada di taman hutan dekat rumah.
Dedek kesana, ya!
Nanti ketemuan Mama sama Papa, terus kita makan di luar.
Papa dan Mama menunggu.
Dedek kesana, ya!
Nanti ketemuan Mama sama Papa, terus kita makan di luar.
Papa dan Mama menunggu.
-Papa.
Di... taman hutan...!
“Tunggu, Mama, Papa!
Sebentar lagi aku sampai!”
Jalan ke taman hutan memang nggak jauh-jauh amat, kok.
Tinggal dari rumah, terus ke kanan... ke kiri, terus lewat pancuran air! Nanti
lurus saja...—
“...Eh!?” Di seberang jalan, aku melihat
ada orang membuang sampah ke dalam pot bunga. J-jangan, dong! Berhenti... berhentilah! Pergi, menjauh dari pot itu...!
“BERHENTI!!” Teriakku, namun semua seperti
tak mendengarnya. Bahkan orang itupun hanya berjalan melewati pot itu
seakan-akan hal yang dilakukannya barusan tidak terjadi.
Aku nyaris tak dapat menoleh. Kenapa...
kenapa Ia dapat melakukan hal seperti itu...? Aku harus kesana... dan
membersihkan pot bunga itu... kasihan bunga—
Papa dan Mama menunggu.
Surat itu terbayang di benakku. Aku nggak boleh lama-lama... nanti... Papa
dan Mama...
“...Maaf,
bunga! Aku harus cepat ke tempat Mama dan Papa..”
Rasanya kepalaku
sakit, dan mendadak, dadaku juga...
Lama-lama jalanku melambat juga. Kepalaku sakiiit sekali, entah mengapa. Dadaku
terasa terbakar...
Aku memutuskan untuk berhenti sebentar.
Mama... Papa...
Agak jauh di sebelahku, aku melihat pot
besar. Isinya baru tunas kecil, berwarna hijau muda. Rasanya sejuk
memandangnya...
Tiba-tiba seorang tante lewat, tangan
kirinya berkutat dengan handphone-nya,
tangan kirinya membawa plastik makanan. Melewati pot tunas, tante itu langsung
membuang sampahnya dengan acuh tak acuh.
“Jangan!” Teriakku. Namun, seperti tadi,
tante itu seakan tak melihatku. Ia tetap memandang layar HP-nya, tanpa bahkan
memandangku sedikitpun.
“TANTE!!” Teriakku lagi, namun Ia malah
terlihat tambah tak peduli.
Ah... kepalaku sakit.
Setelah memandangi pot bunga itu, aku
melanjutkan perjalanan ke taman hutan.
Mama...
Papa...
Aku ingin bertemu...
Setelah perjalanan yang terasa sangaaat panjang, akhirnya aku sampai
juga ke Taman Hutan. Taman itu penuh
pohon-pohon besar, sehingga akhirnya dipanggil taman hutan. Mama seharusnya ada
disini, menungguku bersama Papa.
“Mama? Papa?”
Aku berjalan masuk ke dalam Taman Hutan.
Dan yang kulihat, bukannya Mama dan Papa, malah orang-orang yang menebang pohon
dengan kapak-kapak mereka yang bersinar mengkilat, dan mesin-mesin besar yang
dengan cepatnya menghancurkan taman hutan...
...hancur...
“HENTIKAN!!!”
Nafasku terasa tercekat.
Pandanganku makin lama makin kabur.
Kepalaku terasa sakit sekali.
Pusing.
Mama.
Papa.
“HENTIKAN!!!”
“...Ah!”
Mataku terbuka.
Pemandangan familier kamarku, yang dindingnya dan langit-langitnya dari kayu.
Udaranya terasa lembap. Ingin rasanya kugerakkan kakiku; tapi aku tak dapat
merasakan apapun. Dibawah selimut putih kusam ini, rasanya tak ada diriku. Aku
tak bisa merasakan apapun.
Angin bertiup. Gorden tipis jendela terbuka
melambai-lambai, seakan-akan tertawa.
Pemandangan luar gersang, tanpa ada tanaman
apapun. Tanah kering kusam, lantai berderit.
“HENTIKAN!!”
Segalanya...
Mengabur
menjadi hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar