Halaman

Minggu, 11 Mei 2014

Pengaruh Berbahaya Sosial Media dan Meningkatnya Penyakit Mental

Diterjemahkan dari “The dangerous impacts of social media and the rise of mental illnesses” , 2014/05/10 oleh Mariel Norton, The Next Web; I do not claim anything from the article—as I’m not the one originally writing this—it’s merely for educational purposes.


Amanda Todd, 15, bunuh diri pada tahun 2012 setelah menerima cyberbullying selama bertahun-tahun.

‘Less FaceTime, more face-to-face time.’

Tallulah Wilson baru berumur 15 tahun ketika Ia merenggut nyawanya sendiri pada Oktober 2012. Ballerina berbakat ini telah menerima pengobatan untuk depresi klinis, namun, sembari membuat karakter pengguna kokain fiktif online, Ia mulai men-share foto-foto self-harm di social networking website, Tumblr.

Beberapa saat setelah sang Ibu menemukan akun Tallulah dan menutupnya, remaja ini melompat ke depan kereta di Stasiun St. Pancras di London.

Di tahun 2002, Tim Piper bunuh diri saat berumur 17 tahun. Mengikuti pergulatannya dengan depression, siswa ini mulai mencari secara online anjuran-anjuran cara bunuh diri – kemudian Ia-pun menggantung dirinya sendiri di kamar tidurnya.

Meskipun ada beberapa alasan untuk menggunakan social networking, tampak bahwa fungsi utamanya ialah untuk menambah kontak dengan teman dan keluarga, sembari menambah keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas sosial. Namun, penelitian telah memperlihatkan bahwa pemuda-pemudi dengan keberadaan kuat di Facebook cenderung memperlihatkan perilaku narsisistik-antisosial; sementara penggunaan berlebihan social media ditemukan sangat terkait dengan prestasi rendah di sekolah.

Jadi, bila kau mengambil kurang-lebih 1.2 milyar pengguna Facebook dan 450 juta orang penderita gangguan mental, apa yang kau dapatkan? Pandemik global yang tak memperlihatkan tanda-tanda akan melambat dalam waktu dekat.

Cyberbullying masih meningkat

Memetik statistik dari Pew Research Center dan World Health Organization secara berturut-turut, sangat menakutkan betapa tingginya figur-figur ini – lebih lagi jika mempertimbangkan pertumbuhan mengerikan online bullying.
Di awal tahun ini, British charity ChildLine menemukan bahwa cyberbullying sedang dalam peningkatan; dengan anak-anak melaporkan 4,507 kasus cyberbullying pada tahun 2012-2013, dibandingkan 2,410 pada tahun 2011-2012.

Kenapa meningkat? Terlihat bahwa, entah dimana di sepanjang jalan, hak-hak social networking telah disalahgunakan – baik dari segi maknanya dan korbannya.

Pada tahun 2005 silam-lah para technorati menandakan permulaan social media; mengambil manfaat dari penggunaan real-time communication lewat platform digital. 

Merangkul terminologi asing, merubah bentangan di mana norma-norma standar interaksi dipraktekkan; tiba-tiba memilih profile picture yang cocok menjadi permasalahan dunia pertama, sementara yang lain menderita dalam memilih hashtag mana yang cocok untuk menyimpulkan tweet mereka.

Meskipun begitu, ada banyak sekali masalah-masalah yang lebih mendesak, yang dari waktu ke waktu akan termanifestasikan menjadi kesulitan-kesulitan yang baru mulai kita bicarakan sekarang. Tahun ini menandai #TimetoTalk Day pertama dunia, di mana untuk 24 jam pada tanggal 6 Februari 2014, orang-orang didorong untuk memulai percakapan tentang kesehatan mental dalam upaya untuk menghentikan diskriminasi terhadap penyakit mental.

Walaupun ini adalah salah satu dari instansi di mana social media berdampak positif pada kasus kesehatan mental, ada banyak situasi lain dimana social networking bukanlah hal yang begitu baik.

Efek-efek social network pada penyakit mental

Juga merupakan anggapan lazim dalam media, beberapa riset telah memperlihatkan bahwa social networking – terutama Facebook – dapat memberikan efek merusak pada kesehatan kita. Para peneliti dari University of Michigan mengkaji penggunaan Facebook selama dua minggu, dan menemukan bahwa semakin banyak orang yang menggunakanya, semakin banyak negativitas yang mereka rasakan berkenaan dengan kegiatan mereka sehari-harinya; serta dari waktu ke waktu, meningkatkan ketidakpuasan mereka dengan kehidupan masing-masing secara keseluruhan.

Sementara itu, sebuah blog yang dipublikasikan di Everyday Mindfulness mengungkapkan konsep menarik yang disebut ‘discrepancy monitor’; “sebuah proses yang memonitor dan mengevaluasi secara terus-menerus diri dan situasi kita sendiri terhadap gold standard.”

Singkatnya, kita mengevaluasi pengalaman-pengalaman kita sendiri terhadap apa yang kita percayai seharusnya kita alami. Namun, ketika kita membandingkannya dengan yang di Facebook, kita menjadi musuh terbesar kita sendiri – karena digital persona yang diperlihatkan di social network ini hanya menyoroti ‘potongan-potongan terbaik’ di timeline pendek Facebook, yang sangat kontras dengan kerja keseluruhan hidup kita.

Butuh lebih banyak bukti seberapa social media dapat merusak? Lihat DoSomething.org, not-for-profit terbesar Amerika untuk generasi muda dan perubahan sosial. Artikelnya yang berjudul ‘9 Ways Technology Affects Mental Health’ memperlihatkan beberapa derita yang diberikan oleh sosial media kepada kesehatan mental, termasuk depression, isolasi, insecurity, dan lebih baru lagi, FOMO, yang juga dikenal dengan “Fear of Missing Out” (lit. Takut Ketinggalan).

Mencegah Kecanduan Sosial Media

Tekanan kelompok untuk tetap online – disertai dengan aksesibilitas 24/7 yang disediakan oleh mobile media – berarti selalu akan ada lebih dari satu sumber yang tersedia bagi para pengguna untuk mendapatkan digital fix mereka; yang, sayangnya, mengarah kepada setan terbesar dari semuanya: adiksi.


Meskipun ada banyak sekali panduan self-help berceramah tentang cara-cara terbaik mereka menangani aspek negatif sosial media, resolusi dimulai dari mempelajari waktu penggunaan sosial media yang tepat, dan mengingat bahwa kesehatan ialah kekayaan – secara fisik, dan juga mental.