Halaman

Rabu, 17 September 2014

Selasa, 03 Juni 2014

of Sacha Stevenson and her apparent 'whiteknights'...

I've been following this whole "Agama Jualan" thing since it was first posted (thank you to @TanpaJIL!), although admittedly, I didn't watch until the end due to being grossed out by it. Well, for you guys who haven't seen it, it's basically Sacha Stevenson (a Canadian Youtuber Comedian, who likes to make videos based off of Indonesia's stereotypes) making fun of Islam and Shalat.

Apparently, Sacha had said that the intended meaning of her video was that "politicians in Indonesia often use religion as a tool of the trade" a.k.a using religion for their own benefit, as "religion = business" to them. You know, since it's only a while before the elections.

Well, that's probably a-ok. Yeah, sure, Indonesia's politicians aren't really the brightest bunch.

The problem here? She blatantly degraded and disrespected Islam. For example, she deliberately changed prayers to a shampoo commercial's, amongst other things. This, of course, spurred a nation-wide outrage, but of course, if there are 'opposition', there must be the 'whiteknights', because is there any celeb who doesn't have blind fans?

Since I have a free time and her whiteknights have given me so many laughs, I'll present to you: Comments from the Whiteknights, the Best of the Best!

(this was posted in her apology vid because the original video got taken down real quick.)

Minggu, 11 Mei 2014

Pengaruh Berbahaya Sosial Media dan Meningkatnya Penyakit Mental

Diterjemahkan dari “The dangerous impacts of social media and the rise of mental illnesses” , 2014/05/10 oleh Mariel Norton, The Next Web; I do not claim anything from the article—as I’m not the one originally writing this—it’s merely for educational purposes.


Amanda Todd, 15, bunuh diri pada tahun 2012 setelah menerima cyberbullying selama bertahun-tahun.

‘Less FaceTime, more face-to-face time.’

Tallulah Wilson baru berumur 15 tahun ketika Ia merenggut nyawanya sendiri pada Oktober 2012. Ballerina berbakat ini telah menerima pengobatan untuk depresi klinis, namun, sembari membuat karakter pengguna kokain fiktif online, Ia mulai men-share foto-foto self-harm di social networking website, Tumblr.

Beberapa saat setelah sang Ibu menemukan akun Tallulah dan menutupnya, remaja ini melompat ke depan kereta di Stasiun St. Pancras di London.

Di tahun 2002, Tim Piper bunuh diri saat berumur 17 tahun. Mengikuti pergulatannya dengan depression, siswa ini mulai mencari secara online anjuran-anjuran cara bunuh diri – kemudian Ia-pun menggantung dirinya sendiri di kamar tidurnya.

Meskipun ada beberapa alasan untuk menggunakan social networking, tampak bahwa fungsi utamanya ialah untuk menambah kontak dengan teman dan keluarga, sembari menambah keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas sosial. Namun, penelitian telah memperlihatkan bahwa pemuda-pemudi dengan keberadaan kuat di Facebook cenderung memperlihatkan perilaku narsisistik-antisosial; sementara penggunaan berlebihan social media ditemukan sangat terkait dengan prestasi rendah di sekolah.

Jadi, bila kau mengambil kurang-lebih 1.2 milyar pengguna Facebook dan 450 juta orang penderita gangguan mental, apa yang kau dapatkan? Pandemik global yang tak memperlihatkan tanda-tanda akan melambat dalam waktu dekat.

Cyberbullying masih meningkat

Memetik statistik dari Pew Research Center dan World Health Organization secara berturut-turut, sangat menakutkan betapa tingginya figur-figur ini – lebih lagi jika mempertimbangkan pertumbuhan mengerikan online bullying.
Di awal tahun ini, British charity ChildLine menemukan bahwa cyberbullying sedang dalam peningkatan; dengan anak-anak melaporkan 4,507 kasus cyberbullying pada tahun 2012-2013, dibandingkan 2,410 pada tahun 2011-2012.

Kenapa meningkat? Terlihat bahwa, entah dimana di sepanjang jalan, hak-hak social networking telah disalahgunakan – baik dari segi maknanya dan korbannya.

Pada tahun 2005 silam-lah para technorati menandakan permulaan social media; mengambil manfaat dari penggunaan real-time communication lewat platform digital. 

Merangkul terminologi asing, merubah bentangan di mana norma-norma standar interaksi dipraktekkan; tiba-tiba memilih profile picture yang cocok menjadi permasalahan dunia pertama, sementara yang lain menderita dalam memilih hashtag mana yang cocok untuk menyimpulkan tweet mereka.

Meskipun begitu, ada banyak sekali masalah-masalah yang lebih mendesak, yang dari waktu ke waktu akan termanifestasikan menjadi kesulitan-kesulitan yang baru mulai kita bicarakan sekarang. Tahun ini menandai #TimetoTalk Day pertama dunia, di mana untuk 24 jam pada tanggal 6 Februari 2014, orang-orang didorong untuk memulai percakapan tentang kesehatan mental dalam upaya untuk menghentikan diskriminasi terhadap penyakit mental.

Walaupun ini adalah salah satu dari instansi di mana social media berdampak positif pada kasus kesehatan mental, ada banyak situasi lain dimana social networking bukanlah hal yang begitu baik.

Efek-efek social network pada penyakit mental

Juga merupakan anggapan lazim dalam media, beberapa riset telah memperlihatkan bahwa social networking – terutama Facebook – dapat memberikan efek merusak pada kesehatan kita. Para peneliti dari University of Michigan mengkaji penggunaan Facebook selama dua minggu, dan menemukan bahwa semakin banyak orang yang menggunakanya, semakin banyak negativitas yang mereka rasakan berkenaan dengan kegiatan mereka sehari-harinya; serta dari waktu ke waktu, meningkatkan ketidakpuasan mereka dengan kehidupan masing-masing secara keseluruhan.

Sementara itu, sebuah blog yang dipublikasikan di Everyday Mindfulness mengungkapkan konsep menarik yang disebut ‘discrepancy monitor’; “sebuah proses yang memonitor dan mengevaluasi secara terus-menerus diri dan situasi kita sendiri terhadap gold standard.”

Singkatnya, kita mengevaluasi pengalaman-pengalaman kita sendiri terhadap apa yang kita percayai seharusnya kita alami. Namun, ketika kita membandingkannya dengan yang di Facebook, kita menjadi musuh terbesar kita sendiri – karena digital persona yang diperlihatkan di social network ini hanya menyoroti ‘potongan-potongan terbaik’ di timeline pendek Facebook, yang sangat kontras dengan kerja keseluruhan hidup kita.

Butuh lebih banyak bukti seberapa social media dapat merusak? Lihat DoSomething.org, not-for-profit terbesar Amerika untuk generasi muda dan perubahan sosial. Artikelnya yang berjudul ‘9 Ways Technology Affects Mental Health’ memperlihatkan beberapa derita yang diberikan oleh sosial media kepada kesehatan mental, termasuk depression, isolasi, insecurity, dan lebih baru lagi, FOMO, yang juga dikenal dengan “Fear of Missing Out” (lit. Takut Ketinggalan).

Mencegah Kecanduan Sosial Media

Tekanan kelompok untuk tetap online – disertai dengan aksesibilitas 24/7 yang disediakan oleh mobile media – berarti selalu akan ada lebih dari satu sumber yang tersedia bagi para pengguna untuk mendapatkan digital fix mereka; yang, sayangnya, mengarah kepada setan terbesar dari semuanya: adiksi.


Meskipun ada banyak sekali panduan self-help berceramah tentang cara-cara terbaik mereka menangani aspek negatif sosial media, resolusi dimulai dari mempelajari waktu penggunaan sosial media yang tepat, dan mengingat bahwa kesehatan ialah kekayaan – secara fisik, dan juga mental.

Sabtu, 29 Maret 2014

(nonexistent) life skills and...

Truthfully, when I get into my school, I kind of hated myself (the school was apparently for people who flunked exams, and as long as you got money you could enroll. It’s also filled with delinquents, but there are also few decent <some even smart!> ones. It wasn’t really that good, but it wasn’t bad either). Sure, I barely ever studied at all during grade school (apparently, national exam wasn’t a pinch for me back then) but I didn’t think I’d score really low on... well, everything (though I didn’t score that bad, I could’ve gotten in to another school—but I’m digressing). In any case, I extremely overestimated myself—and the worst part is, I’m not even sure what basis I have for doing so! I’ve never gotten any kind of good results in grade school, so there really isn’t anything that could justify my being lazy. Truth hurts sometimes.

Jumat, 28 Februari 2014

[chill tune] Red Riding Hood's Wolf (赤ずきんの狼) | kikuo

Romaji title Akazukin no Ookami
vocals Hatsune Miku
composer Kikuo  (きくお)



Cuma nge-translate-in dari sub Inggris ke Indonesia, siapa tahu ada yang mau;; 
lagian lagunya bagus juga walaupun nggak ngerti kok, heh--
Lagunya khas Kikuo gitu deh, jadi... well, interpret yourself.

Jumat, 21 Februari 2014

St. Valentine's, and most importantly, women.

Kurasa kita semua tahu hari apa 14 Februari itu. Hanya sedikit—kalaupun ada—kalangan yang tidak mengerti hari apa hari itu. Yup, hari kasih sayang terkenal sedunia, St. Valentine’s day. Kultwit ini membahas tentang ‘dark past’-nya St. Valentine’s day, yang pastinya belum diketahui begitu banyak orang.

Sebenarnya, apa St. Valentine’s Day itu? Katanya sih, hari kasih sayang. Tapi, ‘masa, hari kasih sayang dibatasi sehari itu aja? Terus hari lainnya (surprise, setahun kan, 365 hari!) hari apa dong?

Katanya, cuma hari buat merayakan sayang-sayangan aja. Katanya sih, “Kan, juga cuma mainan. Nggak ada salahnya ngerayain. Habis, nanti dikiranya ketinggalan jaman.” Wih, banyak deh alasannya. Padahal nih, faktanya, tingkat penjualan kondom dan penyewaan hotel hari itu... meningkat drastis! Bahkan hingga 500% lebih banyak daripada tingkat penjualan biasanya (berita ini-pun baru di Pontianak! Di Jogja apalagi?).

Hari yang katanya “nggak ada salahnya ngerayain” dan “super harmless” ini ternyata hari maksiat, ya! Surprised already?

Nggak ada salahnya sayang sama orang. Tapi, sayang sama orang kan, nggak usah di lihat-lihatin di hari itu aja. Masa’ mau sayang Ibu cuma pas Hari Ibu? Nggak juga, kali!
Mumpung sampai sini, kukasih tahu nih:

Women are judged with their past in mind, and, on the contrary, men are judged by their future. If women easily gave away their pride, what would they have left?

Perempuan itu yang dinilai dari masa lalunya. Perempuan yang sudah terkenal ‘gampangan’, pasti dinilai buruk—bahkan lebih buruk dari sampah—oleh masyarakat. Sedangkan, laki-laki... yah, asalkan kaya juga pasti nanti ada yang mau, nggak peduli masa lalunya seperti apa.

Harga diri perempuan itu sesuatu yang nggak bisa ditukar dengan apapun. Masa’, belum nikah sudah mau memperlihatkan aurat?

Sebenarnya aku nggak suka kalau perempuan dipanggil ‘sekenan’, karena perempuan bukan barang. Tapi pastinya, kalau kau sudah berani membuang what little pride yang masih tersisa (setelah berpacaran) hanya untuk kesenangan sesaat semata, masa depanmu bagaimana? Apa yang bisa kau berikan kepada suami-mu nanti?

Sebagai perempuan, aku, jujur saja, benci terhadap perempuan yang dengan mudahnya berteriak-teriak, menjerit-jerit di tempat umum, hanya untuk mencari perhatian. Apalagi yang dengan oke-nya disentuh-sentuh oleh lawan jenisnya. Melihatnya saja sudah mual; sebenarnya apa yang bisa didapat? Jadi terkenal?

Kau tahu, laki-laki itu, meskipun luarnya shallow, mereka juga pakai otak kalau mau mendapat yang diinginkan. Mungkin luarnya terlihat ter-wow oleh cewek-cewek yang dengan mudahnya membuka aurat, tapi dibelakang, mereka mengejek-ejek bagaikan mereka orang paling suci sedunia, yang paling berhak men-judge orang lain. Surprise guys, you’re no better!

Kurasa sampai sini dulu (^q^) I’ll start raging otherwise.


Kalau mau membaca lebih banyak, I recommend buku Udah, Putusin Aja! buatan Ustadz Felix Siauw. Pretty art and awesome writing (plus, epic title!), what more could you ask for? Go grab it, here and now!